MERDEKA, (JANGAN) HANYA SEBUAH JARGON SAJA: Refleksi Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia
Oleh: Oktav Primas Aditia
Tujuh puluh sembilan tahun yang silam, Bangsa Indonesia meyatakan kemerdekaannya dan sehari kemudian dideklarasikanlah sebuah negara yang baru, yaitu Negara Republik Indonesia. Tujuh puluh sembilan tahun yang silam, pekik Merdeka menggema nyaring kehampir segala penjuru daerah di Indonesia. Padahal sebelumnya, jangankan berteriak “Merdeka”, mungkin berbisik “merdeka” saja jarang ada yang berani. Proklamasi yang dibacakan oleh Ir.Soekarno ibarat sihir sakti yang mampu mengubah seekor cacing menjadi seekor naga, kini tidak segan-segan pemuda-pemudi Indonesia bergerak menuju kantung-kantung penjajah.
Ratusan tahun Bangsa Indonesia bersusah payah melepaskan belenggu dari praktik-praktik imperialisme dan kolonialisme bangsa asing di Tanah Air yang menjadi tempat kita hidup saat ini. Belasan tahun Bangsa Indonesia berupaya mempertahankan kedaulatan dari pihak-pihak asing yang menginginkan Negara ini tutup buku. Tidak hanya keringat, harta benda bahkan darah hingga nyawa mereka berani serahkan untuk cita-cita dan tujuan kita merdeka dan membuat negara sendiri. Bangsa dan Negara yang makmur, sejahtera, sederajat dengan bangsa-bangsa lain di Dunia ini dan lain sebagainya. Mereka berupaya meraih mimpi-mimpi itu semua.
Tujuh puluh sembilan tahun setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan, bagaimanakah kabar bangsa yang memiliki cita-cita besar ini?. Tujuh puluh sembilan kali kita merayakan hari kemerdekaan Indonesia dengan hingar bingar, mulai dari upacara hingga lomba-lomba, dari yang nasional hingga tingkat RT bahkan sekolah. Nuansa merah putih mendadak menjadi pemandangan baru pada setiap tanggal 17 Agustus. Bahkan tidak jarang orang banyak mengeluarkan dana yang besar untuk menyambut hari sakral nasional yang satu ini.
Namun, pernahkah kita bertanya? Apakah benar kita sudah meraih cita-cita dan tujuan Bangsa dan Negara ini merdeka? Apakah benar pekikan dan ucapan “MERDEKA” yang kita keluarkan pada hari ini memang benar-benar “MERDEKA”? Apakah kita sudah benar-benar Merdeka hari ini?.
Dari berita Antaranews.com yang terbit pada tanggal 8 Agustus 2024, Wali Kota Administrasi Jakarta Timur M Anwar, mengakui bahwa kasus tawuran di Jakarta Timur mencapai 35 kasus di sepanjang bulan Juni hingga Agustus 2024. Bagaimana mungkin kita mencapai “Persatuan Indonesia” kalau masih banyak tawuran antar kelompok?. Dahulu kita bertikai antar satu dengan yang lainnya akibat diadu domba oleh penjajah. Kini tawuran terjadi justru dari dalam diri sendiri. Apa ada kata lain dari kemunduran?
Menurut Komisi Perlindungan Anak, sepanjang tahun 2023 terdapat 3.547 aduan kasus kekerasan anak, dan menurut data yang dirilis Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), sejak Januari sampai dengan Februari 2024 jumlah kasus kekerasan terhadap anak telah mencapai 1.993, bisa saja angka ini akan terus bertambah. Baru dua bulan saja angka kasus sudah melebihi dari setengah kasus pada tahun 2023. Kasus kekerasan ini mulai dari bullying bahkan sampai mengakibatkan hilangnya nyawa, seperti contoh kasus penganiayaan oleh senior atau kakak kelas yang terjadi Kediri Jawa Timur. Kekerasan-kekerasan bersifat mendiskriminasikan baik Suku, Ras dan Agama pun sering terjadi, baik ucapan candaan hingga perkelahian. Bagaimana kita mau merdeka? Merdeka dari apa? Kalau saja kasus Bullying, diskriminasi bahkan hingga ke yang bersifat SARA masih saja sering terjadi.
Berikutnya ada mentalitas yang sering dimiliki banyak orang Indonesia, yaitu inferior. Mental yang satu ini menjadi salah satu “penyakit” yang sering menjangkiti orang-orang Indonesia. Kita merasa minder ketika berhadapan dengan orang asing. Kita lebih percaya kepada produk asing dari pada produk lokal, padahal bisa saja kualitasnya sama bahkan lebih baik, malahan belum mencoba saja sudah memiliki penilaian yang negatif. Bagaimana kita mau sejajar dengan bangsa lain? Bagaimana kita mau lepas dari ketergantungan bangsa lain? Kalau di tiap-tiap dari kita masih memelihara dengan baik mental dan sifat inferior.
Kalau kita perhatikan baik-baik beberapa contoh diatas, sebetulnya ini adalah kondisi yang dikondisikan oleh kaum-kaum penjajah pada saat itu. Lihat hari ini, sifat-sifat itu masih banyak melanda di negeri ini. Kita hingga saat ini masih merdeka dalam arti lepas dari penjajahan secara fisik, tapi belum secara mental dan fikiran serta tingkah laku. Mari dimomentum yang baik ini, perayaan Hari Ulang Tahun dan Peringatan Kemerdekaan Indonesia bukan hanya diisi hal seremonial saja, tapi disertai dengan perubahan sikap, tingkah laku dan mental yang merdeka. Sehingga “Merdeka” tidak hanya dilisan, tapi tercermin dalam tiap fikiran dan tingkah laku kita.
Dirgahayu Ke-79 Bangsa Ku, Indonesia. MERDEKA
Jakarta, 17/08/2024